Pesan Terakhir

Cerita Galau, Putus, Sang Mantan, Pesan. Terakhir


Malam ini tiba-tiba saya kepikiran kamu lagi, entah kenapa, tanpa alasan yang jelas. Mungkin kamu lagi kenapa - kenapa atau jika boleh jujur, saya sedang khawatir denganmu. 
Akhir - akhir ini saya mulai mencoba untuk ikhlas dengan ketidakberadaan kamu di samping saya. Saya tahu, saya melupakan kamu dengan cara yang tak pantas. Tapi saya pikir, tak ada cara lain melupakan kamu selain dengan membenci kamu

Mungkin ketidakikhlasan ini cuma bermasalah dengan waktu. Persis ketika saya dan kamu bertengkar, setelah itu kita berbaikan, lalu berbahagia kembali. Nanti juga hilang seiring waktu berjalan. 
Namun,—entah harus menjelaskannya seperti apa—kita saat ini bukanlah diri kita yang biasa kita kenal. Tidak seperti yang saya bayangkan. Tidak seperti yang kamu katakan ke saya waktu itu. Tidak sama dengan yang kita lakukan dulu.

Izinkan saya bertanya satu hal meski tak ada jawaban yang keluar darimu—Apa kita harus terus saling menyalahkan untuk mengetahui siapa pembuat masalahnya? Atau mungkin, yang seharusnya kita cari adalah pintu keluar dari masalah ini, menemukan solusi tanpa ada yang harus disesali. 
Tetapi, apa gunanya solusi kalau tiada lagi yang saling peduli? Tiada saling percaya lalu menjadikan kita tak bedaya. Yang tersisa hanya saling menyakiti karena merasa telah dikhianati. 


Kadang – kadang, saya berusaha untuk bertegur sapa denganmu kembali. Tapi kelihatannya kamu hanya sudi membalas sapa yang lain, yang telah menggantikan posisi saya dalam waktu ke depan. 
Jika sudah seperti itu, yang bisa saya lakukan hanya menyimpan sapaan itu dalam selembar senyuman diiringi harapan naif 
“Semoga kamu mendapatkan apa yang tidak kamu dapatkan dari saya, semoga kamu menemukan yang kamu cari – cari selama ini.”
—Walaupun sebenarnya hal tersebut begitu pahit untuk saya terima.

Kadang – kadang, saya berusaha mengajak kamu jalan – jalan, menonton film di bioskop dan mengitari jalan raya dengan langit sore di atas kepala kita. Tapi sepertinya, kita telah memliki keperluan yang bersifat masing – masing. Sekarang pun, kita saling sungkan walau sekedar bertukar sapa. Saling acuh walau sekedar bertukar pandang. Saling lupa walau sekedar mengingat.


Amat berat, teramat berat jika mengingat kamu tak lagi di sini. Di waktu yang seharusnya kita saling mendukung, saling memberi keyakinan di saat kita tertekan. 
Amat sulit, teramat sulit jika sadar bahwa saya tengah jalan sendirian tanpa ada kamu yang mengikuti dari belakang, yang berjaga kalau - kalau saya terjatuh dan membantu saya untuk kembali bangun.

Meskipun itu, banyak kejadian yang telah kita lewati. Kejadian – kejadian itu membuat kita mengevaluasi diri kita kembali untuk memandangi hari – hari yang akan datang.—Pengalaman sebutan dari orang – orang.
Kamu memberi bermacam pengalaman yang tidak pernah saya dapatkan di tempat lain. Semisal bagaimana memperlakukan seorang wanita di hadapan saya. Bagaimana saya sebagai pria haruslah dewasa seperti selayaknya. Dan berusaha menilai segala fenomena dengan sudut pandang yang lain—mencoba melihat dengan cara orang lain melihat


Empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Empat tahun tersebut tidak kita habiskan hanya sekedar kenal saja. Kita tahu apa yang menjadi kekurangan masing – masing  dan berusaha untuk tidak menutup – nutupinya. Kita tahu apa yang menjadi kelebihan masing – masing tanpa harus menunjukkannya. Selama ini kita telah saling melengkapi. Namun ini semua membawa kita kepada satu pertanyaan,
Apa kamu bersedia untuk terus melengkapi saya? 
Kamu cuma menjawab dengan selengkung senyum buatan. Sepertinya kamu tak pernah mau tahu bahwa selama ini saya sedang berjuang.


Amat rela, teramat rela kalau saya harus menyusuri jalan gelap, asalkan jalan ini mengarahkan saya kepada Cahaya di ujungnya. Sekalipun jalan ini memiliki banyak halangan, saya tetap akan melewatinya walau seorang diri. Namun yang terjadi, begitu ujung jalan mulai terlihat, Cahaya tersebut menghilang tanpa memberikan jejak.

Saya mulai menyadari, Cahaya itu terlalu lelah untuk menunggu. Menunggu saya yang terlalu lama berjalan di jalan gelap itu. Cahaya itu menyerah ketika melihat saya jatuh berkali – kali. Cahaya itu meredup seiring tenaga saya yang pelan – pelan  menghilang. Merasa tak adil dengan semua ini, saya menangis. Saya menangis di ujung jalan itu sambil menunggu siapa tahu Cahaya itu akan datang kembali.

"Tapi siapalah saya sebenarnya? Seseorang yang sedang berharap atau yang sedang putus asa?"





Catatan:
Tulisan ini berdasarkan dari cerita pribadi Faisal Utomo
Diedit oleh Dwi Mohamad Irwansyah

2 Komentar:

  1. Jangan galau, bro. Mau minjem baygon gak? Kali aja perlu... hehe.Btw, kunjungin balik ya.

    BalasHapus