Masa Kini ≠ Masa Silam

Masa lalu, masa kini, gagal move on
SUMBER


Agak lucu juga disaat kita sedang memikirkan kembali diri kita di masa lalu, dan ternyata diri kita yang sekarang sangat berbeda dibanding diri kita yang sebelumnya. Ada hal takjub sekaligus ajaib mengingat kita bisa berubah dari yang lugu menjadi beringas, dari yang ganas menjadi jaim, dan dari yang tulen malah jadi gay, uhm gue gak gitu, suer..


Contoh nyatanya adalah diri gue sendiri. Dua tahun lalu, gue adalah pribadi yang cukup peduli sama orang lain. Katanya sih gitu, padahal gue enggak yakin juga dengan pernyataan itu. Ada yang bilang, gue itu seperti pengalaman, bisa dipelajari setelah kita mengalaminya. Azek.

Ada juga yang menyebut diri gue dengan sebutan Irwan Teguh. Soalnya waktu dulu, gue sering banget ditebengin curhat oleh setiap orang yang gak tau lagi mau menumpahkan masalahnya kepada siapa dan kebetulan cuman ada gue yang bersedia.
 Setiap orang yang curhat sama gue, gue selalu memberikan solusi yang implusif, sehingga tak jarang ketika mereka curhat dengan gue lebih dari dua kali, mereka langsung berasumsi bahwa gue adalah Mario Teguh versi remaja. Padahal gue yakin, Pak Mario Teguh pun gak sudi banget menunjuk diri gue sebagai the next dirinya. Lagian, gue juga ga tau deskripsi Pak Mario Teguh itu  seperti apa. Apakah model rambut Pak Mario Teguh saat masih anak SMA itu belah tengah, belah pinggir atau belahan dada? Gue pun gak tau..  Tapi setiap orang yang selesai curhat dengan gue, mereka selalu mengutarakan pendapat yang sama. Aneeh..

Tapi jujur sih, kehidupan di saat itu adalah kehidupan terbaik menurut gue. Iya, gue jadi berguna bagi orang – orang sekitar meskipun lewat hal yang sederhana, dan itu adalah hal yang patut dibanggakan!
Hidup terasa lapang, pikiran menjadi terbuka ke segala arah, dan kita makin banyak memahami kebutuhan orang – orang dari setiap masalahnya. Namun yang paling menguntungkan adalah kita akan mendapatkan feedback atas hal apa yang kita lakukan. Maksudnya, ketika kita memperlakukan orang dengan baik, maka orang lain pun akan memperlakukan kita dengan cara yang sama.

Karna di saat itu gue adalah orang yang cukup peduli dengan orang lain, maka orang lain juga peduli terhadap diri gue ketika gue mengalami hal yang sulit. Dengan kehadiran mereka gue mampu mengatasinya, dengan kehadiran mereka gue mampu membuat segala hal menjadi lebih mudah. Ah.. saat itu hidup sudah terasa sangat lengkap dan seimbang, tak ada hal yang perlu ditambah lagi..


Akan tetapi, hidup terlalu banyak memberikan lubang. Seberapa pun mahir kita mengatasinya, cepat-lambat kita akan tersembab juga. Ketika ingin bangkit, ada yang menahan begitu kuat, yaitu luka.
Seperti yang gue alami saat ini. Hidup lengkap yang saat itu ada perlahan menguap dan kosong. Hidup menjadi penuh dengan kekosongan, namun sangat tertekan. Berbeda dengan hidup yang lapang, karena kita akan merasa damai. Namun hidup yang kosong, yang selalu kita rasakan atau kita hirup adalah tekanan. Tekanan itu yang membuat kita ragu dengan hal di sekitar. Tak ada petunjuk, tak ada aba – aba, tanda ataupun rambu. Tak ada pula yang mengisi kembali, semuanya lenyap tanpa tersisa, yang tersisa hanyalah kekosongan yang panjang. Apa yang menjadi penyebab itu semua? Satu hal, dikecewakan..

 Dua tahun lalu silam, gue sempat jatuh cinta pada seorang perempuan. Dari awal pendekatan hingga saling memiliki perasaan keadaan begitu baik. Gue berusaha memberikan hal yang terbaik dan memberikan waktu yang panjang untuknya, sebagai tanda gue mencintainya dengan sungguh – sungguh. Namun waktu membelokkan keadaan, sehingga apa yang gue harapkan tak sesuai dengan kenyataan. 

Kekecewaan itu menancap begitu dalam, merobek bagian vital menjadi dua bagian, dan memberikan bekas ingatan yang sulit dilupakan. Banyak cara telah gue lakukan untuk menghapus kekecewaan itu. Jatuh cinta dengan orang lain,tak peduli dengan segala tentangnya, dan  menghindar bertemu dengannya.
Namun hal itu malah memperparah keadaan. Ketidakpedulian gue menular menjadi ketidakingintahuan lagi tentang tujuan hidup. Hidup terasa sulit setiap menitnya, bahkan terasa lelah dan payah karna gue harus mengejar waktu yang sudah meninggalkan gue begitu jauh. Setiap malam sebelum tidur, gue merenung kenapa sampai saat ini gue belum mampu move on juga? Padahal kejadian itu sudah dua tahun yang lalu, namun kekecewaan itu masih jelas terasa di setiap panca indra yang gue miliki.


Saat ini, tak sengaja gue menemukan sebuah surat yang pernah dia tulis untuk gue. Surat itu tersimpan dalam box laci dan kini terbuka kembali. Di dalam surat itu, dia menulis ucapan terima kasih atas waktu dan hal terbaik yang gue berikan untuk dia. Dia juga menulis bahwa dia bersyukur karna diberikan kesempatan untuk mengenal gue sangat dekat. Surat itu dia berikan ke gue disertai dengan jam tangan. Namun sayang, jam tangan pemberian dia tidak mampu gue rawat, sehingga yang tersisa hanyalah selembar surat yang kertasnya sudah tidak rapih lagi. Meskipun itu, gue yakin surat itu ditulis dengan penuh perasaan dan perasaan itu masih dapat gue rasakan setiap kali surat itu dibaca.
Setelah (lagi – lagi) membaca surat itu, kemudian gue membuka timeline twitter dan kebetulan menemukan pernyataan yang membuat gue sadar, bahwa


“Terkadang, kenangan manis adalah hal yang sedih, karena kau tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi”

Terdengar tidak masuk akal, namun jika dinalar kembali ada benarnya jugaa...

2 Komentar:

  1. segala sesuatu yang tak pernah sesuai dengan harapan pasti akan menyimpan kekecewaan,,sabar ya mending move on deh daripada terus memikirkan orang yang belum jelas memikirkan kita :D

    BalasHapus