Malam ini mataku kembali berputar dengan layar. Ya.. layar
panggung sandiwara dunia maya. Aku menempatkan posisi untuk terus mengawasi,
meski mataku telah mengatup beberapa kali.
Nampaknya, mata ini telah letih,
harus terus berulang kali membaca kalimat setiap ekspresi. Memijat – mijat
scroll mouse dari atas ke bawah, mencari kabar menarik dari sebrang sana. Atau
sesekali, aku beralih ke kegiatan yang lain; seperti menunggu suara apa kabar
dari ponsel yang bergetar.
Ini malam kedua, dimana malam ini aku merindukanmu tanpa
jeda. Jadi tak terbayang berapa jam aku habiskan sia – sia, menunggu seseorang
hingga waktu menelan usia.
Malam ini terasa berbeda dan akan terus berbeda.
Setelah kepergianmu yang tiba – tiba dengan alasan yang belum dapat kuterima.
Malam ini terasa sangat mencekam, bahkan tempat – tempat gelap di sebagian
ruang kamarku, sekalipun mereka terlihat agak seram. Jangankan untuk
bercengkrama dengan mereka, menyentuh sedikit dengan ujung telunjukku pun,
nyaliku menciut setipis embun.
Aku memutuskan untuk beranjak dari kamar, duduk di atas balkon
yang nyaman dan tenang.
Mataku terperejam karna sentilan desir angin malam yang
menggelitik lembut. Punggungku kusenderkan pada Pohon Jambu yang makin renta
umurnya.
Desis jangkrik saling saut menyaut. Cerewetan tikus yang saling
berkejaran, berusaha mengganggu perhatianku sebentar. Malam ini terasa sangat
panjang pikirku. Ya, karna sehari sebelumnya, hubunganku dengan kekasihku harus
kandas. Kandas dalam keterlibatan cinta segitiga.
Ah.. hati ini sudah banyak mendapati luka. Luka yang masih
seutuhnya basah dan kembali terbuka lebih lebar lagi. Luka yang barangkali juga,
pinggirannya saja tak pernah kering. Luka yang lama sembuh, karna dia memilih untuk
diam. Dan mungkin tepatnya, dia tak pernah bersentuhan dengan waktu.
Keterlibatan cinta segitiga memang begitu rujit. Tak ada
yang bisa mengira – ngira bahwa aku yang selalu ada, harus kalah dengan yang
baru ada. Yang selalu bikin nyaman, harus mengalah dengan yang paling tampan.
Semua
berubah begitu cepat. Semua berlalu begitu semu.
Senyum rindu yang tiap malam
kamu sisipkan di setiap binar – binar langit kebiru – biruan, secuil pun tak
nampak lagi kelihatan, apalagi kurengkuh lalu kubawa tidur. Atau barangkali,
hadirnya tertutupkan awan? Tapi yang pasti, rindu itu tidak lagi dengan tujuan
yang sama.
Soal janji setia, apa kamu masih ingat?
Sekarang hanya
terlihat seperti sepotong kalimat yang kehilangan makna.
Titik tersulit dalam
berusaha setia adalah disaat menemukan yang baru kemudian menikmatinya. Bukan
begitu yang kamu rasakan? Aku hargai kok, tapi apa aku harus sesabar demikian?
Dalam perihal tabah, menunggu bukanlah perkara mudah.
Mengira – mengira apa
yang sedang kamu kerjakan, apa segampang itukah? Hah?
Tapi aku ingin memastikan
satu hal. Akan kupantik lagi kenanganmu sedalam mungkin.
Awal – awal perkenalan kita lewat
percakapan telpon, yang waktunya sangat singkat karna dibatasi pulsa.
Rupa –
rupanya begini pula hubungan kita harus berakhir.
“Tunggu dulu Lisaa..!! Dengarkan penjelasan aku..!!?”
“Apalagi yang harus dijelaskan?!! Aku udah lelah dengan
semua ini. Hubungan yang telah kamu rawat sebaik mungkin, sudah waktunya retak
lewat pertengkaran yang dingin.”
“Taa.. Ta.. Tapi.. Tapi, Aku cinta kamu..!!?”
“Cinta??!! Cinta katamu ??!! HAH !!? Apa cinta harus
merepotkan seperti khawatirmu itu? Apa cinta harus menyebalkan seperti
perhatianmu itu? Apa cinta harus menyusahkan seperti berhadapan denganmu? Apa
cinta harus mengatur – ngatur dengan siapa saja aku harus bergaul? Begitu
menurutmu?! Kamu harusnya tau! Cinta mainan seperti ini sudah selayaknya
berakhir. Maaf Geri, terus terang aku agak kasihan dengan kamu. Kamu yang telah
jauh – jauh merangkak dari titik awal, sesampai disini aku harus menendang
wajahmu dengan tega hingga kamu kembali ke titik sebelumnya. Terus kejar hati
ku ini dengan susah payah, hingga kamu lelah, kemudian menyerah. Selamat
tinggal, semoga belum terlambat untuk kamu tersadar."
" Tut.. tut.. tuuut…”
Aku terdiam, tak bisa mematik satu kata pun dari bibirku
yang sudah separuh kering ini.
Meneguk ludah pun terasa pahit. Leherku terasa
tercekik, hingga sulit bagiku untuk bernafas.
Dadaku terasa sesak, seperti
terhantam godam dalam – dalam.
Dan hati ini, bagaimana kabarnya? Dia telah
berlubang lebih besar dari yang sebelumnya.
Lubang yang tadinya seukuran jarum
kecil, telah berubah menjadi lubang akibat rudal yang menghantam satu pulau.
Sarafku lumpuh, sendiku mati. Tapi ponsel tempat kita
bertengkar 3 menit sebelumnya, masih kugenggam sekuat tenaga.
Aku meraba dada,
tak ada detak di sekitarnya. Aku merunduk ke bawah, tak ada tempat untukku
berpijak. Apakah ini yang dinamakan cinta, kesedihannya memuncak saat
kehilangan?
Apakan ini yang dinamakan cinta, amarahnya tersundut ketika
ditinggalkan?
Luber sudah, air mata yang telah tertampung penuh di pelupuk
mata. Mengucur deras hingga meresap ke daun bibir. Kusempatkan jemari ini
mengusap, kendati air mata ini mengalir derai di teras pipi.
Aku terjerembab ke
dalam lorong – lorong cakrawala yang suram.
Tak ada yang lebih fana dari takdir
cinta segitiga. Disaat satu sisinya terluka, kedua dari sisi yang lain tidak
peduli dengan sekitarnya
sebutsajairwan.blogspot.com
Depok, 28 Juli 2013, 10:22
0 Komentar:
Posting Komentar