Obrolan Lewat Pesan




Pada malam yang terasa gersang, suasana sekitar hati semakin pengap. Apa karna satu (atau dua atau lebih) dari perasaan yang memaksa masuk bersamaan? Kenapa aku menjadi separuh berantakan? Aku berpikir dengan keras. Namun, jawaban pun tak kujung datang lekas. Disini dengan jelas aku bisa merasakan. Udara – udara di kamar yang perlahan berlari kemudian menghilang. Aku ini benar – benar terhimpit di keadaan yang sungguh menyulitkan. Aku pun tak bisa menarik nafas untuk persiapan.

Membalas pesanmu, niatku direnggut ragu. Terlebih aku belum sepenuhnya siap berkomunikasi beberapa hari ke depan denganmu. Aku ingin menyiutkan keberadaan, agar kamu tak mencariku lagi hingga beberapa masa yang akan datang. Aku berniat melakukan ini semua atas apa yang telah aku saksikan belakangan ini. Aku menerima kabar dari si angin sepoi. Dia membawanya secara ringan dan nyaman. “Waaaaaah… kabar baik bernasib untukku mungkin” pikirku singkat. Namun yang ku tuai adalah kabar yang tak sedap. Kabar – kabarnya kamu telah menemukan lagi seseorang yang lain. Lantas hati ku sudah sebagiannya hancur menjadi kepingan koin – koin. Pipih dan tak beraturan, bahkan nampaknya sudah tak layak digunakan.

Aku hanya lesu menikmati malam yang sekarang. Terbaring di kasur reyot, diselimuti tirai – tirai kesedihan yang terbasuh di bantal kapukku. Tak satupun yang menarik perhatian. Bahkan jangkrik – jangkrik yang menari di barisan ilalang, atau sekalipun suara konser musik dari radio – radio kota. Seluruh sendi sarafku hanya merasakan hambar. Hambar yang begitu menyekat.

Tak lama kemudian, mataku mengintip ponsel dan ada sebagian pesan.

 From: Yuna
Rey, apa – apaan sih kamu? Kenapa kamu tidak menanyakan tentang diriku langsung saja di hadapanku?


Ini kebodohanku. Tadi siang aku bermaksud mengetahui rahasia seseorang dengan menanyakan teman dekatnya lewat pesan singkat SMS. Namun, justru berimbas ke salah kirim dan mengirim ke seseorang yang ingin kuungkap rahasianya.
Maklumlah, aku jatuh cinta pada Yuna sejak lama. Namun cintaku hanya terbalaskan satu senyum tipisnya yang lebar merekah itu. Tidak mungkin jika aku menanyakan rahasia Yuna yang begitu penting pada dirinya langsung. Sangat bodoh pikirku. Jadi kuputuskan untuk menguntit kabar dia dari teman dekatnya. Namun, sial nampaknya lagi berimbas padaku. Karna kebodohan cintaku ini, pesannya bocor lebih dulu sehingga Yuna mengetahuinya.

Aku tak langsung menjawab pesannya. Aku duduk di pojok kasur lebih dulu. Menempatkan dagu di atas lutut, memeluk kuat betis kedua kaki, kemudian menjatuhkan diri. Ini seperti adegan gugurnya daun dari tangkai asalnya.

Aku kembali meraih ponsel. Jemariku mengetik jawaban pesanmu nyaris tak ada ragu.

   Maaf Yuna, aku sepertinya selalu menyukai menguntit kabar kamu dari seseorang, atau merantau sendiri dari kejauhan tanpa terang – terangan. Meski kamu pun telah bilang kepadaku “Rey, jika kamu ingin menanyakan tentangku, tanyakan sajalah, aku tak akan marah” tapi aku tidak akan benar – benar melakukan itu. Kau tau Yuna? Seorang yang sedang jatuh cinta adalah peneliti paling mahir, ungkapan seorang penulis asal Jogja. Ia akan selalu diam – diam mencari kabar kekasihnya semahir mungkin.
   Dan aku, mungkin orang sepertiku  tidak layak untuk jatuh cinta. Aku selalu dibutakan oleh harapan. Keadaannya menyilaukan namun menipudayakan. Padahal kamu pun tidak menganggap aku sebagai sebuah kelebihan, bukan? Itupula sebabnya, jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, aku siap untuk dipersalahkan.
   Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, aku siap untuk dipersalahkan. Satu kalimat yang aku temukan dari seseorang lain. Aku mengangguk mengerti dan sepertinya kalimat ini bagus untuk kutunjukkan padamu.
Balas pesanku, panjang.

Pesan balasan tersebut langsung terkirim. Aku mengira – ngira pesan balasan apa yang akan kudapat. Aku menanti dengan sangat.


From Yuna:
   Rey, aku menuruti akan baiknya untuk mu saja. Untuk urusan cinta, perasaanmu tak akan bisa ku paksakan. Semua umat manusia diberi hak untuk mencintai dan siapa yang ia ingin cintai. Tak terkecuali kamu, Rey.


Aku membaca dalam hati pesanmu. Tanpa pikir lama aku langsung kembali membalasnya.

   Itu semua pola pikiranku yang mengatur layak atau tidaknya aku untuk jatuh cinta. Kau tak akan mengerti.
   Tapi maafkan aku Yuna, perhatianmu sedikit (bahkan banyak atau mungkin separuh penuh) terbagi lagi oleh ku. Bahkan, aku pun tak sanggup menghitung banyaknya jumlah ruang di otakmu yang terpakai untuk memikirkan kejadian hari ini.
Maaf, aku tak sempat mengira – ngira akan semerepotkan ini.
Jika aku pantas untuk dilupakan, maka lupakanlah.
Ucapku di pesan singkat.


From Yuna:
   Rey, aku heran dengan sikapmu laksana mainan lilin lunak yang suka berubah ubah. Atau apakah kepribadianmu sebenernya lunggar dan renggang serta ada ruang untuk berubah?
Balasmu, dari sebrang Kampung Gergantu.


   Ah, Yuna. Kau tidak tahu lebih dalam tentang diriku ternyata. Aku suka bersandiwara. Namun untuk yang ini, aku melakukannya atas nama rasa.
   Terimakasih, terimakasih untuk mu yang telah menemani sebagai pengisi hidup. Sebagai inspirasi cerita – cerita hidupku yang kutulis lewat huruf demi huruf. Aku merasa lebih hidup dalam sajak sebab aku menulis atas karna sambil memikirkanmu. Maaf, aku sempat mencuri satu dari jutaan keindahanmu, untuk ku simpan di kotak puisi yang paling suci.
   Setidaknya kita juga saling berusaha. Berusaha sedemikian rupa untuk kembali ke masa lalu. Masa lalu yang begitu indah untuk kita lalui dalam hidup. Kenangannya selalu berterbangan disekelilingku dalam setiap langkah per langkah. Ia tak ingin pergi dariku.
   Oh Yuna, aku hampir lupa untuk menanyakan satu hal yang membuatku penasaran. Seperti apa perasaan kau terhadapku?
Balasku, panjang lebar.


From Yuna:
   Ia aku tahu Rey. Semua yang kita usahakan selalu kamu yang mengakhirinya, kan? Aku tak berpikir macam – macam. Menurutku kamu melakukan pilihan terbaik.
   Perasaan yaa? Aku menganggapmu seperti seorang teman saja. Aku selalu saja iri hati melihat beberapa orang bercerita hidup denganmu dalam senda gurauan yang begitu mengundang perhatian. Sungguh.



   Ah Yuna, mataku menjadi nanar melihat kata seorang teman dan kamu iri hati kepada orang lain. Apa kau bercanda? Kau ini selalu kuperlakukan dengan hati – hati. Aku tak ingin hatimu berlubang sebesar kepalan. Dan orang lain? Mereka seperti peran lain di hidupku. Ya, harus kuakui, merekalah yang mengubah alur benang merah percintaan sialan ini. Mereka sangat penting, kau pun sama.

   Aku mengucap dalam hati sambil masih terbaring. Kemudian kembali membalas pesanmu. Aku berniat menyudahi obrolan malam ini.

   Ya sudah, aku paham Yuna. Sekarang segeralah lekas tidur. Aku pun tak ingin kau sakit karna tidur lebih larut dari sebelumnya.
Balasku, setengah kantuk.

 From Yuna:
Dasar cowok menyebalkan.

   Ahahahahaha. Aku tertawa dalam hati. Senyumku tergolek lemas di bantal lusuh. Harusnya kamu melihat ini Yuna. Barusan aku bisa tersenyum, bodoh. Meski separuh hati ku tak lagi kokoh. Andaiku.

   "Yuna yang manis, Yuna yang baik hati, Yuna yang cantik jelita.."

   Tidurku berubah posisi terlentang. Merenggangkan kedua tangan, hingga membayangkan aku sedang memelukmu dalam – dalam. Lebih dalam, dan lebih dalam hingga aku menenggelamkan diri diperandaian.

Depok, 15 Agustus 2013.
sebutsajairwan.blogspot.com

0 Komentar:

Posting Komentar