Trauma paling mendalam yang gue alamin saat mengendarai motor yaitu cuman satu, berboncengan.
Sewaktu gue naik motor dan ngeboncengin seseorang di belakang, gue selalu berpikir harus membuat seseorang itu ngerasa nyaman. Dan justru sebaliknya, perasaan harus "membuat nyaman" itu malah menjadi senjata makan tuan bagi gue. Terlalu fokus untuk tidak membuat kesalahan justru menyebabkan kesalahan di luar masuk akal, dan itu yang gue alamin. Sewaktu gue sangat berhati - hati mengendarai motor dengan penumpang di belakang, yang kejadian malah gue kehilangan keseimbangan berkendara, ugal - ugalan, ujug - ujugnya malah nabrak orang.
Gue pernah beberapa kali kena semprot sama temen gue. Mereka bilang, "Hati - hati dong wan kalo bawa motor!" dengan penuh semangat merebut kemerdekaan. Gua selalu balas ucapannya dengan "iya, tenang aja, dwi mohamad irwansyah tahu segala hal..", di sisi lain gue sangat yakin kalo umur mereka tinggal sejengkal, pendek.
Dan kebiasaan ini masih terus terbawa entah sampai kapan.
***
Malam itu, sekitar satu minggu lalu, gue ada janji untuk ke rumah.... *taik nafas kuat - kuat* *kemudian hembuskan* mantan gebetan gue, Nova. Gue ada janji untuk ngambil projek tugas sekolah di rumahnya.
Katakanlah, ini pertama kalinya gue ke rumah cewek, sendirian, malem - malem dan (pengennya) ngajak dia keluar. Ah, teryata gue masih berhak jadi pria.
Persiapan untuk ke rumah nova sangatlah bermacam - macam. Dari parfum baju sampai pilih - pilih sepatu. Hal ini gue lakuin agar nova merasa nyaman sama gue, padahal.... selalu sebaliknya.
Parfum yang gue semprot melebihi kadarnya, alhasil baju gue bukan menjadi wangi malah bau bensin. Celana jeans hitam luntur serta jaket sporty yang selalu kepanjangan. Terakhir, kaos yang super sempit sehingga tete gue menarik godaan. Namun saat itu gue masih bersyukur, satu hal yang bagus dari gue cuman satu, helm yang segede gaban. Helm ini bisa menutupi semua kejelekan dari muka purba ini.
Jadilah, gue + kaos sempit + jeans hitam luntur + jaket sporty + helm = astronot mau ke akhirat.
Merasa sudah cukup dengan penampilan, segeralah gue pamit sama nyokap. Bilangnya sih mau ke rumah pacar temen sebentaran doang, dan nyokap langsung ngizinin.
***
Selagi di jalan, gue selalu mencari - cari ide perbincangan yang asik buat nanti kita omongin berdua. Sepik - sepik nanyain kabar adalah sepik jaman fir'aun masih ngompol, basi. Sepik nanyain udah makan kalo gak traktir wong sama aja, bego. Sepik nanyain udah punya pacar apa belum keliatan banget pengen ngajak jadian. Sumpah, gue bener - bener bingung.
Nyari ide perbincangan sama seorang cewek sangatlah rumit, apalagi cewek yang dulu pernah kita sayang. Dan pertanyaan seribu umat kembali muncul di otak, "kalo orang lagi pacaran yang diomongin apaan aja ya?"
Terlalu kebanyakan mikir akhirnya sadar gak sadar gue udah sampe di depan gang rumah nova. Soal mengemudi? Jangan ditanya! Mengemudikan motor seorang diri tanpa penumpang persentase kecelakaannya adalah nol besar. Gue sangat lihat mengemudi kalo lagi sendiri. Meliuk - liuk menghindari macet kayak ular yang lagi menilik mangsa.
Dan disinilah gue, berdiri setengah patung di depan rumah nova. Gue masih cari hal - hal yang bisa nanti kita omongin, tapi nihil. Gue mundur beberapa langkah, berniat untuk pulang aja, terus bilang ke nyokap "mak, anakmu telah gagal mendapatkan jodoh, silahkan masukkan aku lagi ke dalam rahim", tapi gue urungkan kembali.
Ah, namanya udah kepalang basah, mending basah sekalian! Pikir gue saat itu.
Akhirnya gue beranikan diri untuk mengucap salam.
"Assalamualaikum.. Novaa.." terdengar jelas.
Gue menebak - nebak, pasti nyokapnya yang akan nyambut gue dan kemudian bilang ke nova "Oh, ini temen kamu yang pengen ngajak keluar? Titip martabak ya..", tapi meleset.
Dan ternyata... Astaga. Setelah pintu rumahnya terbuka. Mulut gue terbuka menganga. Nova sangat manis waktu itu. Semanis susu, bukan, semanis madu. Ah, mungkin keduanya.
Saat itulah gue mulai membuat perbandingan, Novanya yang makin hari makin manis atau guenya yang makin hari makin suka sama dia? Gue melamun beberapa detik.
Kemudian Nova membalas salam "walaikum salam, maaf mas disini gak terima pengemis.." sambil nyengir - nyengir tanpa beban. Saat itu juga gue langsung pengen bakar diri.
***
Niat untuk bakar diri kembali gue urungkan, lalu kemudian nova mempersilahkan gue masuk. Baru selangkah dari pintu, gue langsung melihat penampakan tak asing. Adeknya. Tadinya gue kira Nova melihara marmut hitam, tapi marmut gak ada yang sebulat itu. Adeknya lagi asik bermain gadget di atas kasur. Tenyata dunia semakin aneh, karung beras udah bisa main gadget. Hebat.
Gue liat - liat ke ruangan sekitar, kayaknya di rumah cuman ada Nova dengan adeknya. Mungkin bokapnya belum pulang, tapi gue gak ngeliat nyokapnya. Alih - alih gue langsung bertanya "Mamahnya kemana?"
"Si mamah lagi tidur"
"Oh, pantes gak keliatan. Terus tugas seni kriya kita gimana? Kancingnya ada lebih gak?"
"Ini wan, Nova baru beli kancing lagi segini, refrensinya tadi udah Nova kirim lewat facebook. Tapi Irwannya udah keburu kesini hihihi.."
"Hihihi..". Sungguh cengengesan yang sangat manis. Duh, Gusti. Baru cengengesan aja Nova udah terlihat sangat manis. Gimana kalo dia senyum? Gimana kalo dia tiba - tiba natap mata gue? Gimana kalo dia bilang "wan, jadian yuk!". Oke. yang terakhir ngarepnya kelewatan.
Sempet gue pengen niru cengengesan manis kayak Nova gitu, "hihihi..". Tapi gue pikir kedengarannya bakal kayak kuntilanak tomboy, gue urungkan lagi.
Sementara itu, hihihi-nya Nova masih menelanjangi sekujur telinga dalam. Sungguh kedengaran sangat manis. Gue kembali melamun beberapa detik.
Kemudian Nova mengacaukan lamunan gue, dia bilang "cukup gak wan kancingnya?"
"Emm.. Ini masih kurang deh. Kayaknya aku butuh banyak.."
"Oh, yaudah, kalo gitu kita beli lagi."
"Kamu tau tempatnya?"
"Tau doong.." Penuh yakin dengan menaikkan sorot tatapan.
"Emm.. Boleh anterin gak?"
"Boleh, kok.." Suaranya agak malu.
Kemudian kita bergegas. Nova mematikan laptopnya, gue beranjak berdiri keluar.
"Kita gak pamitan dulu sama mamah kamu?" Gue berusaha mengingatkan.
"Tadi Nova udah bilang ke si mamah kalo Irwan pengen kesini, hihihi.."
Gue ngambang di udara.
Jadilah kita berangkat nge-date ke toko kancing. Ngeeeeeeeeng..!!!
***
Sewaktu di jalan, mata gue hanya berkutat pada jalanan.
Gue gerogi. Sangat amat gerogi. Sangat amat gerogi sekali. Gak ada satupun topik yang melintas terbang di pikiran gue. Cuman ada jalanan becek dan lubang parit yang bisa ngumpetin anak kangguru sepuluh ekor.
Di belakang, Nova juga diam. Gue menebak pasti dia lagi asik dengan handphonenya. Gue agak santai. Beberapa lama kemudian gue agak cemas. Hanya ada kedinginan diantara sikap kita berdua. Entah ada apa, padahal tak terjadi apa - apa. Derik suara motor gue seakan menertawakan ketidaktahuan untuk siapa yang harus memulai percakapan.
Sementara itu, dorongan untuk bertanya "Nova udah punya pacar?", semakin menggebu - gebu.
Keheningan diantara kami akhirnya pupus setelah tiba - tiba gue ngerem mendadak. Nova melemparkan pertanyaan "Kok, ngeremnya mendadak wan?"
"Itu ada polisi tidur.."
"Dimana wan? Gak ada deh kayaknya, jalanannya mulus kok.."
"Oh, berarti aku salah liat."
Tamat.
Fix. Besoknya gue bakal ke dokter mata.
Waktu terasa begitu lama karna sepanjang jalan kita cuman diem - dieman.
Sampai akhirnya kita dikejutkan bahwa toko kancing tersebut udah tutup. Sekujur urat yang tadinya menegang, melemas perlahan sehabis mengetahui bahwa tujuan gue sebenernya cuman sia - sia. Ya, tapi gapapalah, bisa berduaan dengan Nova aja itu udah ajaib banget. Sewaktu di sekolah gue gak pernah ada waktu untuk berdua dengannya. Jarang. Bahkan gak pernah. Cuman kali ini. Ya meski gak lama, tapi gue merasa cukup dengan apa yang gue pikir kalo kita berdua ini lagi nge-date. Padahal gue yakin, Nova gak pernah memikirkan hal yang sama.
"Yah, tutup. Gimana dong, wan?" Air mukanya nampak cemas.
"Emm.. Yaudah besok - besok aja deh, tapi kalo Novanya gak ada waktu jangan dipaksain ya.."
"Okedeh, ntar Nova beliin hihihi.."
Lalu kita beranjak pulang. Gue bertekad. Dalam perjalanan pulang, gue harus buat Nova merasa nyaman. Harus. Kalo enggak, karir gue sebagai pria bakalan hancur.
***
"Tek.. tek.. tek.. tek.. tek..."
Meski akhirannya selalu bunyi "tek", bukan berarti itu suara ketek. Itu suara mesin motor gue. Udah dua bulan lamanya gue belum ganti oli. Suaranya kacau gak karuan. Kalo ketemu sama polisi tidur body sayap - sayapnya pada bergeter. Mirip lemak perut abis dipukul. Gak ada motor yang paling aneh terkecuali motor gue yang saat ini sedang dinaiki dua orang remaja yang masih diem - dieman. Gue tadi udah bertekad harus buat Nova merasa nyaman, itupula sebabnya gue masih mencari lagi ide - ide yang bisa diomongin. Aha! Ketemu!
Di depan sana gue melihat ada lubang seukuran badak afrika serta air menggenang di dalamnya. Lalu gue nyeletuk sederhana "Nova.. kamu gak nyoba berenang?" sambil nunjuk genangan air di lubang.
"Nova mah udah sering, wan.." Balasnya sambil terkikik.
"Oh, gitu? Berenang pake gaya apa?"
"Gaya batu, wan.."
"Oh, kirain pake gaya katak. Hihihi.." gue cengengesan.
"Iiihhh..!!" dia ngedumel manja.
Lalu akhirnya kita berdua menghabiskan perjalanan dengan saling membicarakan kejadian tadi sore, kemarin, di tempat magang dan keseharian yang terasa menarik. Diteruskan dengan tawa gurihnya yang lembut memanjakan telinga. Akhirnya gue belum kehilangan cara untuk membuatnya terpaksa tertawa keras. Dan Nova juga belum kehilangan cara untuk membuat gue jatuh cinta lagi, lagi, dan terus lagi.
Dan sempat gue merasakan nyaman seperti sedang lelap. Terasa damai dan berharap Nova memeluk dari belakang meski kejadian itu gak mungkin terjadi. Ah, sudahlah.. Gue tau, ini bukan saatnya berandai.
***
Sehabis mengantarkan Nova pulang, gue langsung pamit. Nova men-dadah-dadahi kepulangan gue. Ia nampak seperti anak kecil yang berharap dibelikan mainan oleh ayahnya selepas pulang kerja. Seperti ada perasaan ganjil untuk meninggalkan. Gue menimpali lambaian tangannya dengan senyum, lalu ia melakukan hal yang sama.
Motor gue pun melaju perhalan, kemudian berhenti di depan gang. Gue menengok ke arah belakang, hanya untuk memastikan; Gue belum sanggup untuk berjalan ke depan sambil memunggungi masa lalu.
0 Komentar:
Posting Komentar