Penunggu Usang




    PENUNGGU USANG—Kusebut pria itu seperti itu. Di sudut pinggir alun - alun ia menghabiskan waktu hanya untuk menunggu. Berhari – berhari, berbulan – bulan, hingga tahun baru menjemput. Semua pedagang toko emperan telah berkali - kali mengusirnya, karna sudah kesal dengan perbuatannya. Namun, Si Penunggu Usang itu masih tetap disitu. Tak melakukan apapun kecuali hanya menunggu.

   Masyarakat sekitar mulai gusar melihat ia terus duduk hinga tidur - tiduran. Tubuhnya pun sepertinya sudah tidak pernah bersentuhan dengan air selama lima – enam bulan. Makanannya hanya kerikil pasir yang bergerai di depannya. Tak jarang, orang - orang yang lewat di hadapannya seringkali melempari koin receh sekedar merasa iba kepadanya. Padahal, tunggu, ia sama sekali tidak butuh rasa iba dari manusia.

 ***

—Pertemuan dengan bidadari

“Apa?! Aku sedang menunggu, jangan ganggu aku!”
   Aku sedang menunggu sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal pikir manusia.
Aku menunggu bidadari yang hendak turun dari surga. Menjemput tubuhku yang telah paruh baya.

***

   Di sudut alun - alun ini. Aku pernah bertemu dengan seorang bidadari, yang cantik nan berseri. Aku melihat ia terpelanting dari langit. Sayapnya patah penuh luka, bulunya bertebar seperti kapuk yang ditepuk dengan gagang sapu. Dengan sigap ku raih. Badannya menimpali tubuhku. Sayapnya terkapar di atas tanah, dia tak sadarkan diri.

"Hey, bangun! Kau berasal darimana?"
"......"
"Hey, kau sudah sadar?!"
"Aku.. dimana..?"
"Kau jatuh dari langit, kau juga mempunyai sayap. Apa kau terjatuh?
Apa kau terjatuh karna terbang terlalu jauh?"
"ugghhh... aku tidak terlalu mengingat.." Kepalanya mendenyut, seperti terbentur benda tumpul.
"ah, yasudah. lebih baik kau selonjoran dulu. aku akan carikan makan, obat dan minum"

   Kutinggali ia di kardus bekas di sudut alun - alun. Aku beranjak ke toko obat, lalu restoran terdekat. Beberapa pertanyaan begitu menyerebat masuk ke dalam kepala. Siapa dia sebenarnya?

   Tak lama kemudian, aku kembali beranjak ke kardus bekas dengan menenteng kantung kresek berisikan makanan dan obat - obatan. Badanku basah kuyup diguyur keringat. Kuperhatikan ia sudah nampak begitu baikkan. Aku mengucap syukur. Ku sibak terpal biru tua yang kebetulan ada di tempat sampah. Kita berdua duduk di atasnya. Sembari aku mengobati luka - lukanya, ia mulai buka suara.

"kau? siapa kau? kau itu, manusia, kan?" suaranya melirih.
"iya, aku ini manusia, memang siapa lagi? Kau sendiri? Kau ini aneh, siapa sebenernya kau?"
"Jika kau benar manusia, jangan dekat - dekat denganku!" Suaranya cemas mengancam.
"Ha??! Memangnya kenapa?! Aku ini berusaha menolongmu, tau! Eh.. Kau belum jawab pertanyaanku, siapa kau sebenarnya?"
"Aku ini bidadari. Sudah jelas terlihat, bukan? Tolong jangan sentuh sayapku!"
Braak! Ia mendorongku hingga badanku terjatuh dan tangannya berusaha memeluki sayap - sayapnya yang kian gugur. Aku pangling kebingungan.
   "Memangnya kenapa kalau aku ini manusia? Bukankah wujud kita sama? Yang berbeda kau memiliki sayap dan aku tidak."
Matanya berkilat. Tangannya bergetir, tanda tak mampu memeluk erat kedua sayapnya. Mulutnya berucap penuh khidmat.
"Di tempat asalku, manusia itu katanya makhluk yang jahat, penuh tipu muslihat. Manusia mempunyai nafsu, sedangkan aku tidak. Manusia itu picik!"
"Apa yang kau katakan barusan?!” Sungguh, aku tidak mengerti apa yang ia maksud. Sehingga aku butuh penjelasan ulang. “Manusia itu picik?"
"Iya! Memang begitu!"
"Coba jelaskan, manusia picik mana yang bersedia menolong bidadari terluka? Kalau manusia benarlah picik, kau sudah aku perkosa sedari tadi."
Aku geram. Logika konyol macam apa yang barusan ia katakan? Apa beginilah cara bidadari berterimakasih pada manusia yang telah menolongnya?

   Ia terhenyak. Diam. Seperti ditusuk hebat. Tepat di dalam. Matanya bergeming, mengurai dentik air, mengembung, kemudian menghujani bukit pipi.
"Kau... Mengapa kau begitu tega melontarkan kata kejam itu kepadaku?!"
"Supaya kau tersadar"
"Sadar atas apa?!" Suaranya memecah seperti gemuruh petir.
"Manusia tidaklah semuanya picik"
   Tubuhnya melemas. Seperti terhantam atau dikejutkan sesuatu, mungkin perkataanku.  Setelah kejadian itu akhirnya kita berbaikkan. Hari itu kuhabiskan untuk merawat sayapnya.

***

   "Kau, mengapa bidadari bisa menginjakkan kaki ke Bumi?" aku penuh penasaran.
"Ah, iya, aku baru ingat. Awalnya aku hanya bermain - main kelilingi langit sambil mengamati isi - isinya. Tanpa sadar, aku tersesat hingga jatuh ke Bumi. Aku menabrak lapisan atmosfir sehingga sayap - sayapku hangus berurai - burai. Saat ku coba untuk terbang kembali, usahaku berujung sia - sia.
Kalau tidak salah, aku sudah jatuh lebih dari dua ratus kali dan setelah itu aku bertemu denganmu dan kau menolongku. Maaf ya.. jadi merepotkan"
"Ah, tidak masalah. Bukankah kita diwajibkan untuk menolong bagi yang kesusahan?"
"Emm.. Iya. Terimakasih ya. Aku bersyukur aku dipertemukan manusia seperti kamu. Manusia yang tak punya maksud apapun."
   Ia mengulas senyum. Bibirnya merekah seperti kibasan sayap kupu - kupu. Pipinya bergembul seperti adonan tepung. Wajahnya putih langsat seperi bengkuang dan sapuan warna merah jambu berkias di sekujur pipi. Rambutnya menggeluntai dari ujung atas hingga ke bawah. Bulu – bulu dari sayapnya bertengger di sebagian helainya. Sungguh. Untuk saat itu. Kau benar memesona, Sang bidadari.

   Aku menyimpul senyum yang sama. Senyum penuh hasrat memelihara. Senyum kita saling bersentuhan lewat suara, mengapung di udara, dimabukkan asmara.
Selanjutnya yang tersisa adalah malam yang begitu panjang. Membiarkan meracuni diri kita masing - masing dengan rasa nyaman yang sudah ada.
   Malam memaksa lebih larut dan ia kian lelah. Saat itu, aku terkejut. Ia mengajakku bertukar badan. Aku tegas menolak, ia malah mengelak.Lantas ia segera menarik tangan kiriku dan menempatkan pada payudaranya yang masih begitu ranum.
Halus. Mulus. Lembut, yang tangan kiriku terima. Tangan kananku berusaha mengusap sayapnya. Menghitung jumlah, namun tak sempat.
   Setelahnya hanya terdengar tarik hembus nafas kita yang saling memburu, melampiaskan hasrat.

***

   Sebulan kemudian, kita melangsungkan perpisahan. Ia ingin kembali ke surga meminta Tuhan untuk merestui hubungan kami berdua. Setelahnya, ia berjanji akan kembali padaku dan mengajakku ke sana, angkasa, milik kita bersama.
   Ia menyuruhku untuk menunggu disini dan akan sesegera kembali. Ia bukan hanya janji,  ia yakin pasti kembali, kepadaku. Sepeninggal suaranya masih berdesik jelas menggetarkan gendang telingaku
"Tunggu aku dan jangan kemana - mana. Aku akan langsung kembali."
   Namun, dua tahun bersilam, ia belum kunjung tiba. Tersirat kabar bahwa bidadari itu dimasukkan ke neraka karna telah bercinta dengan manusia, namun aku menampik dan enggan percaya.
   Mungkin dua tahun di Bumi sangatlah berbeda dengan dua tahun di surga.  Barangkali, dua tahun di Bumi adalah dua detik di surga? Kalau begitu, aku harus banyak bersabar. Aku harap penantian ini tak kau balas dengan pengingkaran, wahai bidadari.

***

  Tubuhku kian dikerubungi lalat. Masyarakat sekitar dan orang - orang yang sekedar berlewat menganggapku adalah pengemis, gelandangan. Sampai - sampai mereka memanggil polisi untuk mengusirku dari tempat.
  Kabar tentangku berjelajah kemana - mana. Aku banyak dibicarakan dimana - mana. Bahkan surat kabar kota melampirkan berita tentangku.
  Cih. Persetan dengan semuanya!
Kalian belum mengerti bahwa aku adalah manusia paling beruntung sejagat semesta.  Aku bertemu dengan bidadari, bercinta dengannya, lalu aku akan di bawa ke surga, bersamanya.
  Aku akan di bawa ke surga, bersamanya, seusai menumpas penantian ini—

***

  Subuh telah lewat dan matahari kian mengucurkan hangat. Sepagi ini, saya sedang berjalan - jalan dan mengamati  sekitar alun - alun, tampak heran karna si Penunggu Usang itu batang hidungnya sudah tak terlihat. Saya memutuskan untuk membeli surat kabar.

   Headline News: Lelaki yang seperti sedang menunggu seseorang di sudut alun - alun telah tewas membusuk.

1 Komentar:

  1. ajib. keren banget cerpennya sob.
    imajinasi lo bagus banget.
    two thumbs up deh buat cerpen ini

    BalasHapus