Dwi 'Pengecut' Irwansyah

Based on True Story, Slice of Life, Curhatan pelajar

Barusan gue abis nyari - nyari akte kelahiran, mau ganti nama tengah yang tadinya "Dwi Mohamad Irwansyah" menjadi "Dwi 'Pengecut' Irwansyah". Gue ngerasa ga pantes mengenakan nama 'Mohamad' yang diturunkan sejak kakek gue lahir. Soalnya belakangan ini, yang gue lakukan hanya melarikan diri dari kenyataan dan membohongi perasaan.

Perihal ganti nama tengah tadi tak lepas kaitannya dengan dua hal. Pertama, sebenarnya gue lagi menyukai seseorang. Di sekolah, adik kelas, dua tahun lebih muda dari usia gue.
Satu hal yang dapat dijadikan alasan kuat kenapa gue langsung menyukainya adalah wajahnya yang manis. Tak perlu cantik, hanya perlu manis. 
Setiap gue mencuri pandangannya, gue selalu meng-angan - angan 

"Ijinin aku untuk buat kamu bahagia, boleh kan?"

Dan dia akan membalas pertanyaan itu, "Tentu!" sambil mengulum senyum paling indah se-dunia serta mencubit anggota tubuh gue yang lunak karena dia cukup malu.

Yoi. Jatuh cinta emang jalan pintas menuju orang kurang waras.


Setidaknya hal itu titik terjauh gue mengenalnya ; hanya mampu melihat dirinya tanpa menampakkan kehadiran. Gue hampir kenal seluruh tentang dirinya. Mulai dari nama, kelas, tempat tinggal dan jadwal mata pelajaran olahraga dia. Tapi sebaliknya, dia belum mengenal satu hal apapun tentang gue. Iya, apalagi masalahnya kalo bukan, gue terlalu pengecut untuk mengajaknya berkenalan dan memperkenalkan diri.

Gue terbilang kurang pede sama penampilan. Penyebabnya adalah gaya rambut yang pas pas-an, tinggi badan sederhana, dan hal dominan yang bikin gue gak pede sama diri sendiri ; wajah yang dihiasi pori pori besar.

Sehingga, waktu ngumpul bareng temen - temen se-penongkrongan, ada yang pernah bilang

"Wan, kalo dipikir - pikir lu itu mirip sama Spongebob.."

"Wih, maksud lu gue selalu ceria gitu?"

"Bukan, maksud gue muka lu banyak lobangnya"

ada juga yang bilang gini

"Wan, wajah lu itu ibarat rembulan.."

"maksud lu wajah gue bersinar di kala gelap ya?"

"Bukan, maksud gue wajah lu tandus."

"......"


Makanya, gue selalu menjauhi berkenalan dengan seseorang yang belum gue kenal, terutama kepada lawan jenis.
Ada yang bilang "Ganteng itu Relatif" atau "Ketampanan seseorang gak dilihat dari penampilan". Ah klise. Kalimat itu gak akan mampu merubah keminderan seseorang, apalagi untuk gue yang dari lahir memiliki sifat kurang percaya diri. Amat sulit untuk menjadi percaya diri hanya bertameng dengan sesumbar kalimat "ketampanan seseorang gak dinilai dari penampilan".


Balik lagi ke soal adik kelas, meskipun gue kurang pede sama penampilan, sesekali gue mencoba merangkai kalimat perkenalan yang bisa memberikan kesan terpuji dalam diri gue ketika berkenalan nanti. Tapi, harapan spekulatif tersebut gak sesuai dengan yang gue bayangkan.

Tiap kesempatan, gue selalu berlatih di depan kaca sambil menyodorkan kalimat "Hai dek, boleh kenalan?" dengan memasang wajah paling menawan yang malah terlihat seperti platypus lagi diare.
Namun pada akhirnya, perlahan gue mulai patah semangat. Kemudian sifat pesimistis tiba - tiba muncul dan merusak keadaan dengan pertanyaan "gimana kalo ternyata dia menolak?".
Gue langsung membayangkan percakapannya nanti jadi seperti apa.

"Hai dek, boleh kenalan?"

"Nggak"

"Kok nggak? Nanti nyesel loh.."

"Nggak akan"

"...."

Kalo udah kayak gitu, gak ada cara lain untuk membalikkan keadaan. Yang bisa gue lakuin jika hal itu sampai terjadi ialah jedotin kepala ke dinding hingga gegar otak dan lupa segalanya.



Selain ngerasa udah patah semangat, gue memiliki firasat ganjil yang menghalang - halangi keinginan gue untuk berkenalan. Dan, firasat ganjil itu mengantarkan gue kepada fakta yang wajib gue tau ; akun sosial media si adik kelas yang gue sukai.

Matian - matian gue mencari seluruh akun sosial medianya, dan cuman facebook dia yang masih aktif sampai saat ini. Setelah gue nemuin akun facebooknya, gue langsung stalking demi mendapatkan informasi - informasi terkini. Sesaat kemudian, sampailah gue pada sebuah postingan foto, dan di dalam foto tersebut terdapat komentar yang membuat gue terkejut dua kali. Pertama, adik kelas yang gue sukai ternyata sudah punya pacar. Kedua, mereka saling berkomentar dengan mengggunakan panggilan sayangnya masing - masing.....
Panggilan sayangnya......... AyahBunda.


Suer, gue gak bohong. Tadinya, gue juga gak percaya dengan hal ini. Tapi setelah nabok - nabok pipi sendiri sampe kempot, gue akhirnya sadar bahwa ini emang nyata.
Setelah mengetahui hal itu, gue langsung mendirikan solat tahajud dan memohon ampun sambil bertanya penasaran "Kenapaaaa Tuhaaaaan???!! Kenapa hamba harus melihat adegan menggelikan ini?!! Ampuniiii hambaaa Ya Tuhaaaann!!!"

Yaaapp, endingnya sudah dapat kita tebak. Akhirnya gue batal kenalan, gue juga batal mendapatkan kesempatan punya pacar.


Yang Kedua, kayaknya gue gak akan berbicara banyak tentang dirinya. Jauh sebelum gue menyukai adik kelas yang barusan gue ceritain, sekitar dua tahun yang lalu gue pernah mencintai seseorang. Masih di sekolah yang sama, namun kali ini kita satu kelas. Usianya seumuran dengan usia gue.

Gue mulai memiliki perasaan dengannya semenjak kelas satu—kelas yang pertama kali mempertemukan kita saat itu—,dan perasaan tersebut hanya mampu bertahan hingga kelas dua. Tapi gue salah mengira, perasaan yang gue miliki saat itu ternyata masih bertahan sampai saat ini juga.

Beda dengan cerita yang pertama, di masa itu gue dan dirinya pernah saling dekat, bahkan sudah sampai saling membutuhkan. Namun, gue tetep gagal juga memilikinya. Waktu itu, di saat gue menyatakan perasaan gue secara terang - terangan kepadanya, dia malah memberikan jawaban plin - plan. Dan malahan, dia memberikan kesempatan kepada orang lain, kesempatan untuk memilikinya.

Setelah dia memberikan kesempatan kepada cinta lamanya, gue hanya menelan rasa kecewa mentah - mentah dengan apa yang dia perbuat. Gue yang telah memperjuangkan dirinya bersusah payah, lalu dikecewakan sebegitu mudah hingga gue lupa bagaimana caranya berharap. Saat - saat menyedihkan emang, namun, rasa kecewa tersebut selalu gue tutupi dengan perkataan "Semuanya akan berjalan baik - baik saja" dan tak ada seorang pun yang tau.


Seiring berjalannya waktu, hubungan dia dengan cinta lamanya tidak berangsur lama dan dia kembali bukan milik siapa - siapa. "Yes kesempatan gemilang!!" pikir gue saat itu.
Gue kembali mendekatinya dan berusaha meyakinkan bahwa gue sungguh - sungguh mencintai dirinya. Namun sekali lagi, gue diberikan jawaban yang tak masuk akal disertai komitmen bahwa dia gak mau menjalani hubungan pacaran dengan siapapun. Gue yang menerima jawaban itu hanya menampakkan segaris senyum agar dia tak khawatir dan mengurung rasa kecewa gue dalam - dalam.
Oh iya, saat itu dia juga berpesan pada gue "Berusahalah untuk mencintai orang lain", sebuah kalimat yang gak pernah gue harapkan untuk keluar melalui suaranya.


Setelah beberapa kejadian berikutnya, akhirnya hubungan gue dengan dirinya hanya sebatas teman. Kedekatan kita mulai merenggang lalu saling menciptakan jarak, dan dia juga hanya membutuhkan gue di saat benar - benar butuh, bukan membutuhkan gue di setiap hal apapun. Semakin lama, gue mulai bisa jatuh cinta dengan orang lain. Dan terlebih lagi, gue mampu mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa gue udah gak punya perasaan apa - apa dengan dirinya.

Tapi sekarang, keyakinan itu mulai pudar dan berganti menjadi penyesalan. Setelah mengetahui kabar bahwa akhir - akhir ini dia tengah dekat (lagi) dengan seseorang, hati gue ternyata gak sanggup menanggung itu semua. Gue hanya iri ketika melihat orang lain memiliki kesempatan untuk memilikinya, namun giliran gue selalu gagal di tiap kesempatan. Apa ada yang salah? Apa cukup adil bagi dia untuk berkata bahwa gue bukan orang yang tepat untuknya? Kalian pasti tau, ketika kecewa memiliki rumah di hatimu, maka hidup akan menjadi malas untuk kita jalani, itulah yang gue rasakan sekarang. Tapi gue gak akan membiarkan rasa kecewa yang menjamah seluruh hati gue, mengendalikan arah hidup gue selanjutnya. Enggak akan.

Satu - satunya cara berkhasiat untuk menghapus rasa kecewa selamanya ialah : Moving on, let her go.
Kalimat klise lagi, tapi gue akan buktikan bahwa kalimat klise dapat merubah jalan hidup seseorang ke arah yang terbaik.

Setelah itu, gue melakukan observasi ke beberapa orang dan menanyakan "gimana cara move on yang benar dan berhasil?". Jawaban yang paling gue setujui ialah "cuek dengan semua kehidupan dia, semua yang berkaitan dengan dia, dan semua hal yang sedang dia lakukan. Move on yang berhasil ialah ketika lo mendengar nama dia, lo merasa biasa - biasa aja, bukan pura - pura ilfeel di hadapan orang - orang karna gengsi untuk bicara jujur."

Awalnya agak sulit menjalani hal itu semua. Gue yang selalu bercanda di tiap saat, berubah menjadi gue yang cuek dan agak dingin di tiap obrolan. The most impact what i feel is muncullah beberapa pandangan negatif tentang diri gue. Mulai dari yang "Irwan sekarang berubah", "Irwan bukan yang dulu lagi", sampai ke "Irwan kok sekarang sombong?". Tak apa, gue gak akan gentar. Semua orang berhak mengatakan pandangannya masing - masing semau yang mereka ingin. Dan gue akan diam, akan jarang mengeluarkan perkataan karna sebenarnya perkataan tidak memberikan feedback apa - apa, kecuali hanya penyesalan yang sia - sia.

. . . . .

Iyap, itulah dua cerita yang menuliskan betapa pengecutnya gue akhir - akhir ini.  Janjinya gak akan nulis banyak, tapi gak disangka udah cerita sejauh ini
Bulan Juni depan masa putih abu - abu gue berakhir. Belum ada kisah cinta manis seperti orang lain rasakan pada umumnya. Yang ada hanyalah selalu mengulang kisah cinta yang manis sesaat tapi pahitnya berkelanjutan. Apa ada kesalahan saat Tuhan menakdirkan jalan hidup gue sehingga berbeda dengan orang lain?
Entahlah, mungkin jalan hidup gue terlalu unik.

3 Komentar:

  1. Masih ada hari esok. Pria nggak boleh pengecut! Tapi bau kecut nggak nape sih namanya juga cowok hahaha

    BalasHapus
  2. jadilah laki2 yang pemberani, bukan pengecut

    BalasHapus
  3. Jodoh, Maut, Rizky Sudah Allah yang menentukannya. Tinggal bagaimana kamunya berikhtiar.
    Untuk perihal jodoh, terus perbaiki diri, terus memantaskan diri. Agar saling berkesinambungan ketika dipertemukan dengannya.

    BalasHapus